Apakah Orang Tua Adopsi Hukumnya Sama Dengan Orang Tua yang Sebenarnya?
APAKAH KEDUA ORANG TUA YANG MENGADOPSI MEMPUNYAI HUKUM YANG SAMA DENGAN KEDUA ORANG TUA YANG SEBENARNYA? APAKAH SAYA HARUS MENCARI ORANG TUAKU?
Pertanyaan
Kalau ada keluarga non muslim mengadopsi seorang anak, ketika telah dewasa dia menjadi seorang muslim. Maka dia harus memperhatikannya dan berbuat baik kepadanya? Dimana telah ada bahwa seseorang harus mentaati kedua orang tuanya meskipun keduanya non muslim, selagi tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Apakah hukum semacam ini juga diterapkan pada yang mengadopsi? Dalam konsisi anak ini kalau belum melihat kedua orang tua sebenarnya, akan tetapi dia mengetahui masih hidup, maka dia diharuskan mencarinya dan memperhatikannya meskipun kedua orang tuanya tidak mengetahui anaknya karena keduanya belum pernah melihatnya?
Jawaban
Alhamdulillah.
Pertama: Adopsi pada kebiasaan orang itu dimaksudkan dua hal:
- Mendidik dan memperhatikannya tanpa mengubah nasab (keturunannya).
- Mendidik, dan memperhatikannya serta menyandarkan nasab ke keluarga yang mengadopsi dan menjadikan salah satu anggota keluarganya.
Tidak diragukan lagi, model yang kedua ini, dahulu di awal Islam diperbolehkan. Sehingga Zain bin Haritsah disandarkan kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan namanya menjadi Zain bin Muhammad. Salim disandarkan kepada Abu Huzaifah sehingga dipanggil Salim bin Abu Huzaifah. Kemudian ketika Allah menghilangkan adopsi, dan memerintahkan masing-masing memanggil dengan menyebutkan ayahnya, sementara yang tidak diketahui ayahnya disandarkan kepada si fulan. Dikatakan fulan saudara fulan atau fulan hamba sahaya fulan. Orang-orang pada mengikuti perintah Allah Ta’ala sehingga Zaid menyandarkan kepada ayahnya ‘Haritsah. Salim dipanggil dengan Salim hamba sahaya Abu Huzaifah. Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحِيماً
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Ahzab/33: 5]
Keturunan (nasab) banyak hukum yang terkait dengannya seperti menyusui, pemeliharaan, wali, nafkah, warisan, qisos, pidana pencurian, tuduhan, persaksian dan hukum lainnya.
Sementara macam pertama dengan memelihara seorang anak yatim atau fakir, seperti mendidik anaknya tanpa merubah keturunan (nasab) sebenarnya. Maka itu tidah diharamkan. Bahkan termasuk amalan sangat mulia. Apalagi kondisi yang dididik termasuk anak-anak pengungsian akibat peperangan. Atau mereka kehilangan semua anggota keluarganya karena kecelakaan atau peperangan.
Dalam dua kondisi tadi, suatu keluarga yang mengadopsi atau yang memeliharanya tidak bisa mengambil hukum seperti keluarga anak yang sebenarnya. Dari sisi berbakti, menyambung dan ketaatan. Karena hal itu hanya untuk kedua orang tua asli.
Hal ini bukan berarti memutuskan hubungan kekeluargaan semuanya dengan tiga keluarga. Tidak juga haram mengunjungi, menanyakan, menyambung dan berbakti kepada mereka. Bahkan ini termasuk akhlak mulia dan petunjuk dalam Islam. Kalau hal ini termasuk kewajiban kepada orang asing apalagi kepada orang yang telah memberi tambahan bimbingan, perhatian, susuan dan mengetahui suatu kebenaran dari orang baik ini. Sebagai balasan atas kebaikannya, dimana orang yang memiliki fitrah baik mengetahui akan hal itu, juga anjuran beradab dalam agama, maka hal itu lebih ditekankan lagi.
Allah berfirman:
هَلْ جَزَاءُ الإِحْسَانِ إِلَّا الإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” [Ar-Rahman/55: 60]
Dan dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersada:
مَنْ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
رواه أبو داود (1762) والنسائي (2567) ، وصححه الألباني
“Siapa yang meminta perlindung kepada Allah, maka Dia akan melindunginya. Siapa yang memohon kepada Allah, maka Dia akan mengabulkannya. Siapa yang melakukan kebaikan kepada anda, maka balaslah. Kalau anda tidak menemukan untuk dapat membalasnya, maka doakan dia sampai kamu semua merasa telah terbalaskan.” [HR. Abu Dawud, 1762 Nasa’I, 2567 dinyatakan shoheh oleh Albani]
Adhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud mengatakan, “وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا” Maksudnya melakukan kebaikan baik ucapan maupun perbuatan. (فَكَافَئُوهُ ) dari kata ‘Mukafaah’ maksudnya adalah berlaku baik kepadanya seperti apa yang dia perlakukan baik kepada anda, berdasarkan firman Allah:
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” [ Ar-Rahman/55: 60]
Dan firman-Nya:
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْك
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu.” [Al-Qasas/28: 77]
(فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُوا بِهِ /Kalau anda tidak mendapatkan apa yang dapat membalas kebaikannya) maksudnya dengan harta maka (فَادْعُوَا لَهُ ) maksudnya kepada orang yang berbuat baik. Maka balaslah dia dengan mendoakan kebaikan kepadanya. (حَتَّى تَرَوْا) maksudnya kalau di dhommah huruf ta’nya artinya adalah mengira. Kalau difathah, artinya anda mengetahui atau menganggap. (أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ ) maksudnya adalah ulang-ulangi berdoanya sampai anda memperkirakan telah menunaikan haknya.
Sesungguhnya yang kita katakan kepadanya, “Bahwa mereka sekedar berbuat baik dan mendidik. (Posisinya) tidak seperti para bapak dan ibu. Baik dalam hukum agama maupun dalam hak dan kewajiban berinteraksi antara mereka dan anak-anaknya.
Para ulama Lanjan Daimah telah menyebutkan tentang pengharaman adopsi dalam syariat yang suci ini kemudian mengatakan, “(Penjelasan) tadi telah jelas, bahwa penghapusan adopsi bukan berarti menghapus semua makna kemanusiaan, hak-hak Islam dari persaudaraan, kecintaan, menyambung, berbuat baik, dan semua hal yang terkait dengan urusan dalam melakukan kebaikan[1].
Mereka mengatakan terkait penjelasan hubungan antara anak wanita yang diadopsi dengan yang mengadopsinya, “Adopsi tidak menjadikan anda sebagai anak wanitanya kepada orang yang mengadopsinya sebagaiamana kondisi zaman jahiliyah dahulu. Sesungguhnya maksud dari adopsi adalah berbuat baik, mendidik sejak kecil, mengarahkan untuk kebaikannya sampai dewasa, mampu dan mandiri dalam urusan kehidupannya. Kita berharap kepada Allah agar memberi kebaikan kepada orang yang telah berbuat baik kepada anda. akan tetapi dia bukan sebagai ayah, juga bukan mahram anda. maka anda harus menutup hijab darinya. Kondisi anda terhadapnya seperti orang asing, disertai memberikan penghargaan atas balasan kebaikannya dan kebagusannya. Tapi tetap berhijab dan tidak berduaan dengannya.[2]
Kedua : Dalam dua kondisi tadi terkait arti mengadopsi, maka kita tetap berpendapat bahwa dia harus mencari kedua orang tuanya. Karena ada hukum Islam yang terkait dengannya, serta ada dampak psikologi. Tidak mengetahui apa sebab utama sampai keduanya menjauh darinya. Bisa jadi berdampak kepada keduanya baik dari sisi psikologi maupun fisiknya, sehingga menjadi obat ketika melihat anak dan membelainya. Sebagaimana yang terjadi kepada Ya’qub dan anaknya Yusuf alaihimas salam.
Mencari kedua orang tua agar dapat berjumpa, melihat dan mengasuhnya merupakan sisi fitrah tidak perlu mencari dalil memperbolehkan –bahkan mewajibkannya- baik dari Kitab maupun Sunah. Meskipun kedua orang tua sengaja menjauh dari anaknya. Hal itu tidak boleh manjadikan seorang anak menjauh darinya dan berlepas diri darinya.
Wallahu a’lam
Disalin dari islamqa
______
[1] Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrazaq Afifi, Syekh Abdullah Gudyan, Syekh Abdullah bin Qoud. “Fatawa Lajnah Daimah, (20/347)
[2] Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdur Razzaq Afifi, Syekh Abdullah Gudyan “Fatawa Lajnah Daimah, 20/360.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/10980-apakah-orang-tua-adopsi-hukumnya-sama-dengan-orang-tua-yang-sebenarnya.html